Friday, January 23, 2009

Menyadari Diri dan Alam

Seorang tidak akan dapat menyadari nilai apa pun di dunia sebelum ia bersedia mengambil jarak darinya dan menjadikannya sebagai objek pemahaman. Demikian pula bila kita ingin mengenal "diri" sekaligus medan operasionalnya yang berupa 'alam', kita harus rela berjarak dengannya. Caranya adalah melaksanakan ibadah puasa, yaitu berhenti melayani tuntutan-tuntutan "jiwa" dan "raga" selama waktu tertentu. Pada saat itu kita akan merasakan betapa lemahnya "diri" dan betapa tingginya nilai sumber daya alam (rahmat) bagi kehidupan manusia.

Sebelum itu kita memiliki praduga yang salah terhadap kenyataan. Diri kita selalu merasa lebih tinggi dari semua yang ada di kolong langit. Alam seisinya hanya kita anggap sebagai milik yang sepantasnya untuk diperebutkan dan dimanfaatkan sekehendak hati. Seolah dunia ini boleh saja kiamat setelah kita selesai menggunakannya. Padahal tidak demikian kenyataannya.

Sungguh, pentciptaan langit dan bumi jauh lebih hebat dari penciptaan manusia. Sayang, kebanyakan manusia tidak mengetahui (al-Mu'min:57, at-Tin:5).

Ketinggian martabat manusia di depan alam bukanlah terletak pada persepsi mereka tentangnya, melainkan pada iradah Tuhan yang menjadikannya sebagai khalifah di muka bumi (al-Baqarah:30,34).

Sikap hidup kaum muslim tidak bergantung pada "persepsi" yang selalu berubah-ubah sifatnya dan tidak karuan ujungnya. Selain itu, persepsi hanyalah hasil aktivitas akal di dalam menginterpretasikan fenomena alam (kehidupan) untuk mengembangkan wawasannya tentang kenyataan, dan tidak akan pernah memadai untuk diangkat sebagai pemandu kehidupan.

Biang keladi kejatuhan Iblis dari surga ke dalam neraka adalah karena ia mencoba menggunakan "persepsi"-nya untuk membantah Tuhan ketika ia disuruh bersujud kepada Adam.

"Sabda Tuhan,'Apa yang menghalangimu untuk bersujud ketika Kuperintahkan kepadamu?' Iblis menjawab (berpresepsi): 'Aku lebih mulia darinya. Kau ciptakan aku dari api, sedang ia Kauciptakan dari tanah liat." (al-A'raf:12).

Potensi akal yang sedianya diamanatkan Allah kepada manusia untuk mengurus alam, disalahgunakannya untuk kepentingan pribadi (nafsu, etnis, ideologi, dsb.). Akibatnya, manusia akan menemukan dirinya sebagai budak benda-benda dan citaannya sendiri.

No comments:

Post a Comment